Translate

Selasa, 18 Desember 2012

Cerpen Lulur Ningrat



Malam itu hujan turun begitu lebat. Angin malam mengiringi rerentetan petir yang sudah lama antri untuk menghantam bumi pertiwi ini. Aku pun tak kuasa melihat awan – awan hitam yang mengepul – ngepul di atas rumahku. Ketukan air membuatku tertidur pulas.

” Ndoro putri, ndang wungu, Ndoro.. sampun enjing!”, omel mbok Danu. “Mengko mbok..sedelo meneh, isih kesel”, ujarku.  “Ayo tho Ndoro, mangke Ndoro Sultan duka”, rintih mbok Danu.

Memang sudah kebiasaan, aku tidak pernah bangun pagi. Aku hanya bisa mengandalkan mbok Danu sebagai alarmku setiap hari.  Aku sendiri bingung, mungkin aku tak pantas menjadi putri ningrat atau mungkin itu sudah bawaan sejak lahir. Aku sendiri tidak pernah menanyakan itu kepada Romo. Anehnya lagi, walaupun aku suka tidur tetapi aku selalu lupa tentang apa yang telah aku impikan semalaman. Mungkin sepertigapuluh dalam sebulan yang bisa aku ingat. Sayangnya aku tidak pernah malu kepada kedua kakakku. “Walaupun aku terbilang manja dengan tatakrama belum matang. Tapi biarlah. Yang penting Romo masih menyayangiku”, ujarku dalam hati.

Pagi itu aku berkeliling keraton bersama kedua pengasuhku. Dari kejauhan terlihat dua mobil antik berjejer di halaman keraton. Aku pun menghampiri mbah Tejo. ”Sendiko dawuh, ndoro putri... Wonten babagan punaka nggih?”, sapa mbah Tejo. “Ning kono iko ono opo mbah Tejo”, tanyaku. “Punika wonten tamu saking keraton Ngayogyakarto Ndoro, sumangga dipuntepangi”, sahutnya sambil ngapurancang ala abdi dalem keraton.

Dengan berjalan sepantasnya putri keraton aku menuju pendhopo tengah. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan Romo dengan kerabat keratonnya. Nafasku terhenti mendengar rencana perjodohan yang mereka bicarakan. Aku sempat teringat perkataan mbok Danu bahwa aku sudah pantas menikah dibandingkan kakak – kakakku. Aku gelisah. Sejak dulu aku memang tidak suka yang namanya perjodohan. “ Romo memang kejam!”, rintihku. Tetesan air mata di pipiku tak dapat aku hindari.

Berbekal seonggok perhiasan yang masih sempat menempel di tubuhku aku langsung minggat ke Metropolitan. Terpaksa aku naik bus yang begitu asing bagiku. Di dalam begitu sesak. Aku terus berusaha menyodorkan hidungku keluar dari kaca bus. “Jan tnan, ora pantes terae iki, putri keraton koyo awakku iki disuguhi panggonan koyo mangkene iki”, gerutuku dalam hati. Aku baru sadar kalau ada yang aneh di dalam sini. Semua penumpang menatapku dengan raut keheranan. Aku baru ingat bahwa aku masih memakai kebaya lengkap dengan konde di kepalaku. ”Wis ben lah sing penting de’e ora kenal awakku”, ujarku.

Aku ketiduran di dalam bus. ”Neng, udah nyampe nih, cepetan turun”, kata penumpang di belakangku. Begitu terbangun aku telah mati langkah. Semua bekalku kecopetan. Uang beserta perhiasan yang aku kenakan semuanya ludes disamber orang. Takut dipukuli orang karena tidak bayar aku langsung lari menjauh dari bus.

Sejak saat itu hidup terasa sulit. Aku tidak tahu lagi bagaimana aku bisa hidup tanpa uang. Apalagi kini aku terdampar di Metropolitan yang memang terkenal kekejamannya. Sejak kecil aku telah hidup di lingkungan keraton yang jauh dari wara – wari kehidupan. Aku hanya diajari bagaimana berperilaku sopan di kalangan ningrat. Kata mbok Danu mangan macak manak lah yang menjadi kewajiban utamaku. Sedangkan pengetahuan globalku semakin menipis seiring perubahan zaman.

 Hidup memang begitu sulit. Baru kali ini aku merasakan dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Dan itu aku alami secara langsung. Sendirian. Hidup tak semudah mengorek upil di pedalaman ataupun makan ayam di kandang. Hidup perlu perjuangan. Tapi sayang, situasi tak lagi menjadi kawan. Dan tak sepantasnya ini kulakukan sebagai putri ningrat. Mencopet, menjambret dan mencuri menjadi kebutuhanku untuk hidup.

Pagi itu aku mencari uang. Tapi naas tak dapat kuhindari. Sentuhan terakhirku gagal. “Copeeett!! Copeeeett!!”. Puluhan orang mengejarku. Dengan membawa benda keras di tangannya. Melihatnya hatiku miris. Beruntung ada gerobak lewat. Aku bersembunyi pasrah di dalam sana.

Tubuh terasa terhempas bergoyang – goyang mengiringi gerak roda yang menerjang bebatuan jalan. Suasana menjadi agak berbeda. Bau asap kendaraan semakin pudar. Kutengok kesana kemari. “Piye nduk wis ayem?”, pertanyaan si kusir yang mendadak mengagetkan lamunanku. Ternyata kusir itu seumuran kakekku dan dia bukan orang asli Metropolitan. Sayang ia berprofesi sebagai dukun. Tapi semua itu tidak membuatku galau bersamanya. Menuruku ia orang baik – baik.

Makin lama kami saling mengenal. Bahkan kakek itu tidak keberatan mengangkatku sebagai anak. Sudah lama ia hidup sendirian. Keluaganya sudah meninggal sedangkan sisanya masih di desa. Kakek biasa dipanggil dengan sebutan Kik Jengklong. Sedangkan nama aslinya adalah Rono sehingga aku memanggilnya Atuk Rono.

Setiap hari aku membantu atuk menyiapkan sesaji. Atuk Rono sudah lama terkenal di kampung Serba Hijau ini. Banyak pasien dari berbagai pelosok yang atuk layani.

Pagi itu aku pergi ke pasar membeli kebutuhan atuk. Baru kali ini aku masuk pasar. Aku sempat tersesat di sini. Bagiku ini adalah labirin tetetoet dimana penjual dan pembeli ramai mengadu mulut. Sampai di rumah, aku  langsung memeluk atuk sebagai rasa terimakasih karena merawatku.

“Dok..drodok..dok..dok..dok..dok..”, terdengar ketukan pintu yang menyayat telingaku. “Kik Jengklong!! Keluar kau!! Cepat keluar!!”, teriak orang asing itu. “Sumonggo lenggah rumiyin”, sapa kik Jengklong ramah. ” Hah! banyak cakap kau!! Cepat kesini!!”, balas lelaki berbaju kulit itu sambil menyuruh Kik Jengklong untuk menghampirinya. Tanpa basa – basi lelaki itu langsung menarik keras baju Kik Jengklong. “Cepat ganti rugi!! Kau telah membuatku malu!! Kubunuh kau!!”. “Sabar nak..mbok yo jangan kesusu emosi”. Bukannya tenang malahan emosi pemuda itu semakin memuncak. “Halah tau apa kau!! karena kamu usahaku han.currr!! berantakan!! Kau harus ganti rugi!!”. ”Iya, mengko podho ngrembak bebarengan”. “Tidak bisa!! Nyawamulah gantinya.”.

Aku terhentak mendengar perkataan itu. Gelas yang aku pegang terjatuh di lantai. “Klunting klunting klunting..”. Lelaki itu telah memergokiku mengintip. “Heh.. kakek tua.. sejak kapan kau punya anak bahenol seperti itu? Bagaimana kalau gadis itu kau berikan saja padaku sebagai ganti rugi?”. Ocehan pemuda berjas hitam itu membuatku semakin terbelalak melihatnya. “Ojo dewekke nang.. awake  ogak pantes kanggomu. Ben aku wae gantine”.  “Apa?? Kamu?? Bisa apa kau itu!! Dasar tua bangka tak tau diri!!”. “Ayemke batinmu nak..”. “Ahhh.. diam kau!! Sudahlah, dua hari lagi aku akan kesini menjemput bidadariku. Dan kamu harus mempersiapkannya dengan baik. Ingat itu!!”.

Entah mimpi apa aku semalam. Semuanya menjadi kelam. Aku tak sanggup lagi melihat raut muka atuk yang begitu gelisah. Aku semakin bingung dan bingung. Hampir setengah hari kami duduk termenung. Atuk semakin gelisah dan resah begitu juga dengan aku. Pikiranku menjadi buntu. Selama ini atuk memang baik kepadaku dan aku sangat ingin membantunya. Tetapi aku tidak mau melayani lelaki galak yang telah membentak – mbentak atuk dan melecehkanku semaunya. Sejak saat itu makan dan minum menjadi terasa hambar. Pemandangan indah sudah tak mampu menyegarkanku.

“Maafkan atuk yo nduk.. atuk malahan gae genduk mikul beban ogag sembarangan”, pinta atuk. ”Tak apalah atuk. Lagian atuk Rono sudah lama merawatku. Sudah sepantasnya saya membantu”, jawabku melemas. “Tapi iki banget abot kanggomu nduk..awakku ugung pantes mikul kahanan koyo mangkene iki..”, welas atuk. “Sudahlah atuk.. tak apa.. bagiku itulah yang terbaik..”Tapi nduk…”, rintih atuk. Perkataan atuk sempat terpotong. Ia tak kuasa menahan rasa pilu yang begitu mendalam. Kami hanya bisa saling menatap sambil duduk termangu – mangu menunggu nasib esok hari.

Malam itu angin dasyat menghampiri hunian kami. “Grompiang.. grompiang.. grompiang.. glodiak.. glodiak.. glodak.. rhegudukk.. jeduaaaaaarrrr..”. Bunyi gendheng dan seng yang beradu diiringi amukan petir yang menggelegar membuatku semakin tidak tenang. Aku berusaha tidur sambil berharap semoga esok hari kan jadi lebih baik.

“Mbrumm.. mbrumm.. did.. didddd..”. “Hei kau Kik Jengklong keluar kau!! Aku sudah datang!!”. Suara bising itu membuatku terbangun dari tidurku. Dan kini nafasku tak sehalus ketikaku tidur tapi. Semuanya begitu ngeri. Kulihat atuk berjalan keluar menghampiri lelaki tidak waras itu. Mukanya pucat. Aku tak sanggup melihat wajah atuk yang suram itu. Dari belakang aku hanya bisa mengikuti setiap  langkahnya sembari mengepal tangan menahan rasa takut yang menggebu – nggebu.

“Iiii..ya nak..ono opo??”, sapa atuk sambil terbata – bata. “Dasar tua bangka jangan sok lupa kau. Aku ingin menagih janji kepadamu”, bentak pemuda itu dengan beringas.  “Janji apa nak??”, atuk berusaha mengelak. “Kurang ajar kau ingin golok ini menebas lehermu apa!!”, ancamnya sambil menodohkan golok tepat di leher Kik Jengklong. “Hi.hi.hi.hi.hik”. Aku hanya bisa menangis di balik jendela sembari menahan rasa takut yang tak bisa kubayangkan. “Iii.ya nak. Aku eling. Tapi Genduk kaet wingi uwis lungo embuh marak mangendi. Nganti iki awake ugung ketok”, atuk berusaha menipu pemuda itu. “Bohong!! minggir kau orang tua!!”. Pemuda itu memaki – maki Kik Jengklong. Ia membentak dan mendorongnya hingga terjungkal ke tanah. Lututnya berdarah terkena batu.

Tahu ia mencariku aku langsung bersembunyi. “Ayo manis.. keluarlah.. ayolah bidadariku pangeran menjemputmu..ha.ha.ha.ha”, tawa lelaki itu tanda bangga. “Aku tak sudi bersama denganmu. Kamu lelaki kejam. Hanya pandai merayu saja”, bisikku dalam hati. Akhirnya dia menemukanku. Tubuhku ditarik paksa. Lengan panjangku sempat robek ditariknya. “Kamu memang kejam! Kamu tidak tau diri! Lepaskan aku!!”, teriakku kepadanya. “Dasar tolol! Taukah kau? jika aku ini adalah malaikat penyelamatmu. Apa kamu betah hidup di rumah reot ini? Dengan tua bangka lagi? Pikirlah cantik”, hasut lekaki itu. “Neraka hanyalah bersamamu”, tegasku. “Genduk!! Genduk!!”, rintih atuk. Bagaimanapun aku tak sanggup melepaskan cengkraman tangannya yang kuat itu. Akhirnya aku dibawa olehnya.

            Di perjalanan aku hanya meneteskan air mata. Aku tak sanggup membayangkan nasibku selanjutnya. Mungkin hancur atau mungkin hidupku berhenti sampai di sini. Aku teringat Romo, mbok Danu dan mbah Tejo di Keraton.  Bahkan atuk Rono tak bisa luput dari benakku. Aku sudah mengecewakan banyak orang. Sejak kecil aku ingin beguna bagi orang lain. Aku ingin menjadi kebanggaan. Dan aku ingin hidupku ini bermanfaat. Tapi, angin telah berganti halauan.

            “Ayo sayang kamu sudah sampai di istana kita”. Ternyata benar yang aku perkirakan. Ia adalah konglomerat Metropolitan. Namun itu tak akan menggoyahkan pikiranku. Aku tidak suka dia. Dia lelaki kejam tak punya perikemanusiaan. Hatiku semakin sakit mengetahui ia adalah pengoleksi istri. Jika aku tidak salah hitung ia sudah mempunyai sebelas istri. Sedangkan anaknya sudah puluhan. Berjalan saja aku seperti dipagar betis rerentetan keluarga subur berayah satu. Rumahnya memang sangat megah dan besar. Begitu ramai memang, seperti pasar yang sempat aku kunjungi di desa saat masih bersama atuk dulu. Semuanya terasa suram. Menghadap kemana saja semuanya sama. Semua istri – istri lelaki bangsat itu melihatku dengan wajah sinis.

            Hari ke hari aku lewati serba tidak nyaman. Apalagi melihat wajah si ayam jago subur itu. Heh, aku tak sudi.

            Saat yang aku khawatirkan hanya berjarak sejengkal hampir menyerempetku. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan lelaki subur beranak pinak itu. Aku sudah putus asa. Aku sempat memutuskan untuk meloncat dari lantai lima rumah ini. Tapi kedatangan atuk mengurungkan niatku.

            “Ngapuroni atuk ya nduk..atuk wis khilaf..”, pinta atuk sambil memelukku erat. “Kenapa atuk ke sini? Di sini berbahaya untuk atuk. Atuk pulang saja. Genduk baik – baik saja di sini”. Aku memberi rasa percaya kepada atuk. ”Ogak nduk.. Panggonan iki ora pantes kanggo awakmu. Opo sing kedadean atuk pengen uripmu seneng”, harap atuk.

            “Juedeerrrrrrrrrr!!!”. suara pintu terbuka begitu keras. Lelaki kejam itu telah mengetahui kedatangan atuk. “Mau apa kamu kemari orang tua!! Kamu cari penyakit ya!! Minggat sana!!”, hardiknya. Belum sempat menjawab, atuk telah di pukuli bertubi – tubi. Mulutnya berdarah terkena tabokan. Tulangnya yang renta mendapat hantaman – hantaman yang tak pantas ia rasakan. Aku terus berteriak memohon dan memelas agar atuk dibebaskan. Tapi semua tidak dihiraukan.

Dorongan dan hentakan lelaki kejam itu membuat atuk terjatuh dari lantai lima. “Atuuukkkkk!!!!”, teriakku. Aku terus berlari turun ke bawah menjemput atuk. mukanya hancur. Semuanya merah tertutup darah. “Maafkan aku atuk…”. Itulah ucapan terakhir yang sempat aku ucapkan sebelum lari dari rumah itu.

            Karena kawatir terkejar, aku tak sengaja menabrak tukang koran di depanku. Aku tercengang melihat pemberitaan tentangku. Romo begitu peduli kepadaku.  Di situ tertulis berita kehilanganku. Sejak saat itu aku memutuskan untuk kembali ke Keraton. Berbagai cara aku lakukan agar sesegera mungkin sampai ke Keraton. Naik angkot tak bayar bahkan berjalan puluhan kilometer aku jalani. Ingatanku sempat menggoyahkan niatku untuk pulang. Aku teringat rencana perjodohanku di Keraton yang membuatku minggat hingga sekarang ini. Namun bagiku rumah adalah tempat teraman untukku.

            Keraton singgasanaku sudah di depan mata. Cucuran air mata menggenang di pipiku. Betapa aku rindu dengan tempat ini. Kedatanganku di sambut dengan rasa haru.

Sebelum memeluk Romo aku sempat bertanya. “Romo, punapa Romo taksih pengen njodohake kula?”, tanyaku was – was. “Sopo sing arep njodohke awakmu nduk? Mbak yu mu kwi sing arep dak jodohake”, jawab Romo. Aku langsung menangis menyesal. Air mataku meluap begitu deras. Salama ini aku telah salah. Perjodohan itu bukan untukku. Tindakanku minggat dari Keraton adalah perbuatan yang sangat tolol. Aku hampir saja mati di Metropolitan, aku juga hampir dikawin paksa oleh seorang konglomerat picik, dan lebih – lebih aku telah membuat satu nyawa melayang. Maafkan aku atuk Rono. 

1 komentar:

ArenaDomino Partner Terbaik Untuk Permainan Kartu Anda!
Halo Bos! Selamat Datang di ( arenakartu.org )
Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)

Game Terbaru : Perang Baccarat !!!

Promo :
- Bonus Rollingan 0,5%, Setiap Senin
- Bonus Referral 20% (10%+10%), Seumur Hidup


Wa :+855964967353
Line : arena_01
WeChat : arenadomino
Yahoo! : arenadomino

Situs Login : arenakartu.org

Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel ( Online 24 Jam )
Min. DEPO & WD Rp 20.000,-

INFO PENTING !!!
Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.

Posting Komentar